Saturday, November 23, 2013

"Sokola Rimba", Belajar Demi Pertahankan Hutan

Salah satu recomended film yang wajib ditonton oleh forester, mungkin sedikit menginspirasi buat kalian setelah mendengar nama Sokola Rimba. Bagaimana suatu kelompok yang begitu keras mempertahankan 'hutan' sebagai leluhur yang menjaga kehidupan mereka. Hingga begitu antipatinya mereka menutup diri dari dunia luar demi menjaga kelestarian tempat tinggal dan keberlangsungan anak cucu.




Mulai 21 November 2013 forester di Indonesia dapat menyaksikan film Sokola Rimba berdurasi 90 menit di bioskop. Film ini diangkat dari kisah nyata Saur Marlina “Butet” Manurung yang mengajar anak-anak rimba di hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Kisah itu diterbitkan Butet dalam buku berjudul Sokola Rimba.

Sang produser, Mira Lesmana mengatakan film yang memakan waktu 14 hari syuting itu menelan biaya sebesar Rp 4,6 miliar. Selain melibatkan 80 orang kru Orang Rimba, film ini juga melibatkan 35 kru film dari Jakarta, 15 kru dari Jambi. Syuting film 95 persen di Provinsi Jambi yakni di Kabupaten Merangin dan Tebo.
"Orang Rimba adalah masyarakat adat yang hidup berkelompok dan berpindah-pindah di pedalaman Jambi. Dengan memegang teguh adat-istiadat, mereka mencoba bertahan meski tanah tempat mereka berdiam tak serimbun dulu. Binatang buruan semakin langka. Orang-orang Rimba hanya bisa menatap ketika satu per satu pohon madu raksasa yang selama ini mereka keramatkan roboh dihajar gergaji mesin.
Segulung kertas berisi surat perjanjian yang kadung diberi cap jempol oleh kepala adat membuat mereka tak berdaya. Surat yang tak pernah mereka ketahui isinya lantaran mereka buta huruf itu jadi tameng bagi orang terang – sebutan bagi orang kota – untuk mengeksploitasi tanah leluhur mereka.
Butet, yang lahir pada 1972, bertekad membuat masyarakat Rimba menjadi pintar supaya tak gampang dibodohi. Tak sekedar membuat mereka melek huruf dan bisa berhitung. Dia juga menyelenggarakan pendidikan yang membuat Orang Rimba bisa “bersuara” dan memberdayakan diri. Tentu itu tak mudah. Bagi Orang Rimba, pendidikan merupakan hal tabu dan melanggar adat mereka. Butet tak pernah menyerah.
Tentu tak semua pengalaman Butet yang kaya warna di bukunya setebal 348 halaman itu divisualkan. Ada keterbatasan durasi. Inti film berpijak pada tokoh Butet dan Nyungsang Bungo, anak Rimba yang tinggal di Hilir Sungai Makekal. Dia adalah remaja cerdas dan serius ingin belajar. Dari Nyungsang inilah konflik dibangun.
Film ini diawali saat Butet, yang telah tiga tahun mengajar anak Rimba di hilir Sungai Makekal Ulu, terserang malaria. Dia pingsan di tepi sungai di tengah belantara dan ditolong seorang anak Rimba dari hilir. Inilah pertemuan awal Butet dan Nyungsang.
Nyungsang diam-diam memperhatikan Butet mengajar. Keinginan kuat untuk bisa membaca dan menulis mendorong Butet memperluas wilayah kerjanya ke hilir Sungai Makekal, tempat tinggal Nyungsang. Muncul masalah. Tidak hanya memanaskan hubungan Butet dengan atasannya. Butet juga mesti berhadapan dengan sikap sinis orang-orang Rimba di hilir yang menentang kehadirannya.
Butet diceritakan sebagai pekerja di Wanaraya, sebuah lembaga konservasi yang memberikan pendidikan alternatif bagi anak rimba. Tanpa disangka, perkelanaan Butet di tengah rimba itu berkembang menjadi tak sebatas kewajiban semata. Dia malah menjadi ‘abdi’ bagi ratusan anak rimba.
Dalam sebuah adegan tergambar ketegangan pecah. Menggetarkan wilayah rombong (kelompok) Tumenggung (tetua) Belaman Badai. Nyungsang bergegas menyongsong susudungan (pondok kecil) di jantung hutan Bukit Dua Belas, Jambi. Dengan wajah gusar, ia meluapkan kemarahan. ”Ke mano Bu Guru Butet pegi? Akeh ndok bolajor pado Bu Guru,” ujar Nyungsang meradang.
Anggota Orang Rimba yang masih remaja ini tidak bisa merima sikap Tumenggung Badai yang mengusir secara halus sang ibu guru. Dalam adat Orang Rimba, belajar atau sokola adalah pantangan. Mereka yakin, sokola akan mendatangkan bala, kutukan, bahkan kematian.
Bungo lari dari rombong-nya. Diam-diam ia menyusuri hutan demi ikut sokola. Di tangannya sudah ada pensil dan buku. Tapi masih saja ia ragu mengutarakan niat ingin belajar. Tekadnya itu dipantang oleh hukum adat. ”Bungo, ayo bolajor,” suara lirih Guru Butet mengajaknya bergabung belajar bersama anak rimba lainnya. Butet sadar dilema dalam diri Bungo yang terlanjur mencintai sokola, tapi juga terlahir untuk mencintai adat, kaum, dan tanah pusakanya.
Potret kehidupan Orang Rimba tersaji apik dalam film ini. Mulai dari kondisi hutan Orang Rimba yang dikepung kelapa sawit, gelondongan-gelondongan kayu bergelimpangan di sana-sini, hasil buruan yang makin berkurang seiring dengan masifnya pembabatan hutan, sampai pada transaksi ekonomi di pasar yang kerap menipu orang-orang rimba". (mongabay)
"Selamat menonton :)"

0 comments:

Post a Comment