Wednesday, February 12, 2014

Debat Kebijakan Stop Deforestasi dan Konservasi Hutan Indonesia oleh Asia Pulp and Paper

Pengeringan lahan gambut oleh pemasok APP, PT. Ruas Utama Jaya di Sei Nepis yang merupakan salah satu habitat harimau sumatera pada bulan Juni-Oktober 2011. Foto: Eyes on the Forest / WWF-Indonesia.
Pendiri dan CEO Mongabay Rhett A. Butler akan menjadi moderator debat setahun berjalannya Kebijakan Konservasi Hutan APP di Jakarta pada tanggal 5 Februari 2014
Selama satu setengah dekade terakhir, Asia Pulp & Paper (APP), divisi industri milik Sinar Mas Group telah menjadi salah satu produsen kertas yang paling kontroversial di planet ini .
Kelompok-kelompok lingkungan, hak asasi manusia dan para ilmuwan konservasi telah mengecam raksasa kehutanan Indonesia untuk daftar panjang pelanggaran, mulai dari penebangan ilegal untuk perusakan habitat harimau, adanya konflik dengan orang-orang yang bergantung pada hutan maupun tuduhan terhadap penebangan di hutan alam terakhir di Sumatera.
Kelompok-kelompok seperti Greenpeace, Rainforest Action Network (RAN) , WWF, Rainforest Alliance, Friends of the Earth, dan berbagai LSM lokal di Indonesia termasuk diantaranya yang  memberikan kritik keras kepada APP.
Hasil laporan dan ekspose yang dikeluarkan telah menjadi faktor yang memicu puluhan perusahaan besar internasional untuk menjatuhkan APP secara langsung atau menetapkan kebijakan yang mengecualikan APP sebagai pemasok kertas mereka.
Tanggal 5 Februari 2013, APP di depan publik menyatakan komitmen baru untuk pelestarian lingkungan dan sosial. Dari kiri ke kanan. Chairman Group APP Teguh Ganda Wijaja, Menhut Zulkifli Hasan dan perwakilan Greenpeace Bustar Maitar. Foto: Een Irawan Putra
Pada bulan Februari 2013 yang lalu, APP telah menetapkan kebijakan konservasi hutan yang berkomitmen untuk melindungi hutan dan lahan gambut, menghindari sumber serat yang dihasilkan melalui stop deforestasi di hutan alam, mengurangi konflik sosial, dan memberlakukan syarat Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Free and Prior Inform Consent).  Kebijakan yang mulai berlaku 1 Februari 2013 itu, berlaku untuk semua operasi kehutanan APP termasuk para pemasoknya.
Namun demikian, kebijakan itu ditanggapi dengan keraguan yang cukup besar dari sebagian besar kelompok masyarakat sipil, terutama yang pernah mendengar janji serupa APP di masa yang lalu. Jauh panggang dari api, janji tersebut hanya kembali ke praktik bisnis seperti biasa (business as usual)segera diucapkan.
Dalam setahun melakukan kebijakan baru ini, telah terjadi pergeseran yang nyata baik di dalam  kebijakan maupun praktik APP di lapangan. Dengan mencoba untuk melihat kritik di masa lalu dari LSM-LSM yang berseberangan, APP menyambutnya degan membuat sebuah sistem kelola hutan, mengangkat isu moratorium deforestasi dan mencoba untuk menindaklajuti laporan pelanggaran yang terjadi termasuk yang dilakukan oleh pemasoknya.
Sebagai contohnya, Greenpeace, salah satu pengkritik terkeras APP, menjadikan kampanye ini sebagai awal dan isyarat itikad baik oleh APP.
Klik pada gambar untuk memperbesar
Meskipun di satu sisi terdapat kemajuan, di sisi lain masih tersisa kekhawatiran tentang APP.  Keraguan tersebut adalah sebuah pertanyaan apakah APP akan dapat terus bergerak maju dengan perbaikan manajemennya untuk terus memperbaiki berbagai masalah masa lalunya?
Beberapa LSM masih terus menyimpan keraguan yang serius tentang komitmen jangka panjang APP tersebut, termasuk kesangksian terhadap tantangan institusional dalam tubuh APP sendiri, terutama dalam situasi di negara yang hukumnya tidak selalu jelas ditegakkan.
Keraguan lain muncul pada saat pesaing APP tidak terikat secara setara dalam komitmen konservasi, serta saat kebijakan pemerintah Indonesia dinilai tidak memberikan insentif cukup bagi para pelaku yang memberlakukan kebijakan pelestarian hutan.
Menambahkan urgensi terhadap situasi kehutanan di Indonesia.  Penelitian terbaru yang dirilis oleh para peneliti menunjukkan bahwa deforestasi di Indonesia terus pada kecepatan yang cepat. Satu sisi yang menunjukkan bahwa diperlukan upaya penuh melebihi komitmen masa lalu untuk mendorong industri dan perusahaan kehutanan untuk mewujudkan konservasi dan deforestasi hutan.
Dengan kata lain, setahun kebijakan konservasi hutan oleh APP sangat relevan untuk diperdebatkan, sekaligus tidak kalah pentingnya adalah mengungkap masalah mendasar di dalam konteks tata kelola hutan di Indonesia.
Dalam memperingati setahun kebijakan ini, Rhett A. Butler, pendiri sekaligus CEO Mongabay akan memainkan peran sebagai moderator forum debat yang rencananya akan dilangsungkan pada tanggal 5 Februari 2014 ini di Jakarta.
Forum ini akan melibatkan berbagai pemain dalam perdebatan, termasuk APP, mitra kerja APP yaitu The Forest Trust (TFT) dan Ekologika, kritikus operasi pelaksanaan kerja APP di masa lalu yaitu Greenpeace, serta kritikus APP saat ini termasuk diantaranya WWF dan RAN.  Perdebatan akan direkam dan diposting di Internet agar publik luas dapat turut untuk memberikan komentar dan mendengarkannya. (mongabay-indonesia)

Perkebunan HTI Terbakar, Kabut Asap Kembali Landa Riau

Api masih menyala di areal perusahaan. Foto: Walhi RIau.
Api masih menyala di areal perusahaan. Foto: Walhi RIau.
Kabut asap kembali melanda Riau akhir Januari 2014 silam. Sehari setelah kebakaran melanda PT National Sago Prima di Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, pada 31 Januari 2013 Even Sembiring dan Taufik dari Walhi Riau bersama warga Desa Sungai Tohor Abdul Manan, Amrul, Taufik, Iyet dan Zamhuri mendatangi lokasi kebakaran di blok K 26 di dalam areal konsesi hutan tanaman industri sagu PT National Sago Prima milik Sampoerna Agro grup.
“Saya berada di tengah lahan yang terbakar jaraknya sekitar setengah meter dari tempat saya berdiri,” kata Even Sembiring. “Lantas saya ke pemukiman warga Desa Kepau Baru, jarak api kurang dari 10 meter ke pemukiman warga,” lanjut Even Sembiring, Deputi Direktur Walhi Riau. “Kami bantu memadamkan api dengan air menggunakan ember dan peralatan seadanya.”
Dua hari berada di sana, api masih membesar dan terus menyebar ke areal kebun dan perumahan warga di Desa Kepau Baru. “Areal konsesi HTI Sagu PT. National Sago Prima terbakar luas hingga melanda perkebunan sagu masyarakat Desa Kepau,” kata Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau.
Areal HTI terbakar sepanjang Januari-Februari 2014. Sumber: Jikalahari
Areal HTI terbakar sepanjang Januari-Februari 2014. Sumber: Jikalahari
Kebakaran di areal HTI PT National Sago Prima bermula pada satu titik kecil di blok K 26 pada Kamis 31 Januari 2014 sekitar pukul 19.30. “Kebakaran ini gagal dipadamkan karena kelalaian pihak perusahaan yang mempunyai areal konsesi seluas 21 ribu hektar tidak mempunyai peralatan memadai guna memadamkan api yang membara,” kata Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau.
Pantauan di lapangan, PT National Sago Prima hanya mempunya pompa air pemadam api sebanyak tiga unit, yang dapat beroperasi hanya satu unit. “Dengan areal konsesi seluas itu, jelas kelalaian ini merupakan kelalaian yang terstruktur yang mengakibatkan api membesar dan melahap 500 Ha lebih pohon sagu,” kata Riko Kurniawan.
Kondisi angin yang kencang dari arah Pulau Rangsang, api cepat menyebar ke perkebunan sagu milik masyarakat. Pada Sabtu, 1 Febuari 2014  sekitar pukul 13.30, kurang dari sepuluh meter jarak api telah menyebar ke pemukimam menyatu dengan kebun sagu warga. Warga berkonsenterasi menyelamatkan pemukiman mereka. “Adapun hingga sore kemarin api dari areal PT National Sago Prima telah melahap lebih dari 250 hektar perkebunan sagu rakyat,” kata Abdul Manan, warga Desa Sungai Tohor yang membantu pemadaman api di Desa Kepau Baru. Desa Sungai Tohor bertetangga dengan desa Kepau Baru.
“Sistem budidaya sagu PT. NSP yang mempergunakan sistem kanalisasi juga turut menjadi penyebab cepat menjalarnya api di areal konsesi PT. NSP ke perkebunan masyarakat,” kata Riko Kurniawan. Kebakaran di areal PT National Sago Prima tiap tahun terjadi. “Tahun ini merupakan kebakaran terbesar selama perusahaan ini beroperasi,” kata Abdul Manan.
Peta Sebaran HotSpot Riau 1 Jan-1 Feb 2014. Sumber: Jikalahari
Peta Sebaran HotSpot Riau 1 Jan-1 Feb 2014. Sumber: Jikalahari
“PT National Sago Prima sama sekali tidak memberikan bantuan masker dan kesehatan terhadap masyarakat. Setelah kebakaran berjalan hampir tiga hari PT National Sago Prima sama sekali belum memberikan bantuan medis kepada masyarakat,” kata Abdul Manan.
Terbakarnya tanaman sagu masyarakat desa ini menghilangkan sumber pencaharian yang bertumpu dari pembudidayaan sagu. “Bukan sekedar gagal panen, tetapi kebakaran ini mengancam tidak dapat diolahnya lahan masyarakat yang berada di rawa gambut,” kata Riko Kurniawan.
Sebab, menurut Riko Kurniawan, bila dilakukan penanaman ulang pohon sagu butuh empat tahun sebelum panen. Bencana ekologis tentunya menyebabkan kerugian yang sangat besar terhadap masyarakat yang mempunyai keterbatasan modal.
“Kami menuntut PT. NSP memberikan ganti rugi sesuai hitungan ekonomis kerugian jangka panjang masyarakat,” kata Riko Kurniawan.
Kebakaran yang terjadi di PT National Sagu Prima, menunjukkan,”Padahal Riau baru saja terbebas dari kabut asap sejak September 2013 lalu, awal tahun 2014 ini Riau kembali dilanda fenomena kabut asap,” kata Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari.
Selain hutan tanaman industri berbasis sagu PT Nasional Sagu Prima terbakar, titik api sepanjang 1 Januari-1 Februari 2014 berdasarkan citra lansat Jikalahari menyebut 87 dari 394 hotspot terjadi di areal konsesi hutan tanaman industri berbasis akasia-eukaliptus.
Tahun sebelumnya, titik api ditemukan di kawasan hutan dan non kawasan hutan sepanjang tahun 2013. Total Hospot sepanjang tahun 2013 sebanyak 15.059 titik hotspot.
Karyawan PT National Sagu Prima memadamkan api menggunakan pompa air. Foto: Walhi Riau
Karyawan PT National Sagu Prima memadamkan api menggunakan pompa air. Foto: Walhi Riau
Dengan rincian sebagai berikut: total Hotspot terjadi di areal Perkebunan sawit perusahaan (HGU) 805 titik api dengan total 62 perusahaan. Kebun sawit milik warga atau di luar perusahaann (di luar konsesi HGU) total titik api 14.254. Tititk Hospot di areal IUPHHK Hutan Alam ditemukan total 557 titik api. Sebanyak 4.694 titik api terjadi di konsesi hutan tanaman industri yang dikuasai oleh grup APP dan APRIL yaitu 2.891 kebakaran terjadi di grup APP dan 1.803 kebakaran terjadi di konsesi grup APRIL. Titik api juga ditemukan di areal Hutan Lindung,Kawasan Suaka dan di luar dua kawasan itu dengan total Hotspot 13.957 titik api.
Muslim Rasyid, menyebut sepanjang tahun 2013, sudah ada delapan perusahaan pembakar lahan yang ditetapkan tersangka oleh Polda Riau dan Kementerian Lingkungan Hidup. “Namun, baru satu perusahaan atas nama PT Adei Plantation yang sudah jadi terdakwa di pengadilan negeri Pelalawan,” kata Muslim Rasyid.
Kedelapan perusahaan tersebut PT Adei Plantation and Industry, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Bumi Reksa Nusa Sejati, PT Langgam Inti Hibrindo (perusahaan sawit) dan PT Sumatera Riang Lestari, PT Sakato Prama Makmur, PT Ruas Utama Jaya dan PT Bukit Batu Hutani Alam (perusahaan tanaman industry). “Kalau penegakan hukum tidak serius memenjarakan pembakar lahan, tiap tahun kebakaran lahan terus terjadi dan berakibat pada kerusakan ekologis,” kata Muslim Rasyid. (mongabay-indonesia)

Transparansi dan Ketersediaan Data Deforestasi Indonesia jadi Sorotan

Hutan sudah 'bersih' di lahan gambut bersiap menjadi kebun sawit. Dalam perhitungan deforestasi Indonesia, hutan yang dibabat setelah ada pelepasan kawasan dan pemberian izin tak masuk hitungan deforestasi. Foto: Sapariah Saturi
Hutan sudah ‘bersih’ di lahan gambut bersiap menjadi kebun sawit. Dalam perhitungan deforestasi Indonesia, hutan yang dibabat setelah ada pelepasan kawasan dan pemberian izin tak masuk hitungan deforestasi. Foto: Sapariah Saturi
Pada pada 7-8 Februari 2013, Satgas REDD+ dan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) bertemu dengan sekitar 50 an pakar dan pemerhati kehutanan di Jakarta, membahas metodologi perhitungan deforestasi Indonesia. Kali kedua, pada Jumat (7/2/14), Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) bersama Badan Pengelola REDD+ mendiskusikan hal serupa.
Hari itu, sekitar 70 ahli kehutanan dari berbagai negara berkumpul membahas deforestasi, pengelolaan data, informasi dan badan pelaporan emisi sektor kehutanan. Dari Indonesia, hadir ahli‐ahli Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Kemenhut, Badan Informasi Geospasial (BIG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dan Bappenas.
Diskusi kali ini menghasilkan beberapa kesimpulan penting, antara lain mengenai transparansi dan ketersediaan data. Agar lebih transparan, perlu ada laporan tahunan yang menampilkan seluruh metodologi dan ketersediaan semua data kehutanan bagi publik. Lalu, bersama‐sama menambah atau melengkapi data Kemenhut guna mencapai konsistensi, integritas dan akuntabilitas.
Untuk itu, langkah‐langkah yang perlu diambil antara lain membandingkan antara peta Kemenhut dan University of Maryland (UMD). Kemudian, memanfaatkan produk  seperti INCAS, UMD,  dan lain-lain serta mengeluarkan kumpulan data kehutanan yang kuat tetap dipertahankan dengan melibatkan pemerintah daerah sebagai wali data hutan lokal dan universitas setempat.
Mengenai perbedaan defenisi deforestasi, dibuat pendekatan sederhana dengan berkonsentrasi pada hutan alam yang tersisa. Prioritas utama adalah deforestasi bruto dari data atau informasi hutan alam, dan konsisten dengan pedoman metodologis REDD+.
Dalam diskusi itu juga menyepakati, wewenang institusi terkait penghitungan deforestasi harus diperjelas. Semua alat dan metodologi dalam mendukung transparansi pun harus diperkuat sebagai kunci memperbaiki tata kelola kehutanan.
Kuntoro Mangkusubroto, Kepala UKP4  mengatakan, dengan begitu banyak perbedaan opini dan ketidaksepakatan mengenai pendekatan penghitungan laju deforestasi maka harus menemukan cara terbaik. “Cara terbaik menghitung laju deforestasi sangat penting bagi kita dalam mengukur kemajuan dalam pengelolaan hutan di Indonesia,” katanya dalam rilis kepada media di Jakarta, Senin (10/2/14).
Kuntoro mengingatkan, harus ada pengertian sama bahwa hutan di Indonesia berbeda dengan hutan di belahan bumi utara.“Lahan gambut banyak terdapat di bawah hutan alam kita perlu diperhitungkan serius.”
Hutan alam, katanya, tak hanya sekumpulan tegakan‐tegakan pohon, tapi ada kefragaman hayati yang akan hilang bila pohon ditebangi. Namun, keragaman hayati sangat jarang dibahas dalam diskusi‐diskusi pengurangan emisi deforestasi dan degradasi hutan.
“REDD+ mempunyai lingkup jauh lebih luas dari sekadar mempertahankan pohon berdiri di hutan, namun ekosistem, keragaman hayati dan mereka yang hidup bergantung pada hutan.”
Data Penolakan dan Penundaan Ijin Kemenhut
Untuk mencegah deforestasi dan mencapai target pengurangan emisi, selama masa moratorium pemerintah telah mengeluarkan daftar penolakan dan penangguhan ijin konsesi kepada perusahaan terutama di area yang telah ditetapkan dalam peta moratorium/ PIPIB. Klik pada gambar untuk memperbesar.
(mongabay-indonesia)