Friday, July 4, 2014

ANDAI KALIAN TINGGAL DI KAMPUNG CIUSUL DESA CITOREK KIDUL WEWENGKON ADAT KASEPUHAN CITOREK #EDISI ESM 2014

Indonesia memang negeri yang luar biasa, beragam suku dan budaya dari Sabang sampai Merauke. Coba sedikit cermati kalimat tersebut, kemudian coba kalian lakukan lihat dan pahami. Tidak perlu berekspetasi yang terlalu tinggi, cukup amati lingkungan sekitar kita yang sedikit lebih jauh. Begitu banyak saudara kita yang berbeda suku, budaya, dan adat.

Kampung Ciusul, desa Citorek Kidul kecamatan Cibeber kabupaten Lebak provinsi Banten Jawa Barat, merupakan suatu  pengalaman yang sulit untuk tergantikan dengan apapun. Wilayah yang berada dibawah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) memberikan kesan tersendiri pada kegiatan ESM kali ini. Tidak banyak penduduk yang tinggal di kampung tersebut, mungkin hanya sekitar seratus hingga duaratus kepala keluarga yang tinggal, diam, dan hidup disana.

‘Sederhana’ adalah kata yang tepat untuk mengggambarkan kehidupan penduduknya. Rumahnya sebagian besar masih panggung berdinding dan beralaskan papan kayu, makanan yang seadanya didapat dari hasil kebun sayur dan sawah serta ternak unggas yang dipelihara sendiri, tidak banyak perabot rumah tangga, bagi mereka cukuplah sekedar alas untuk tidur, memasak, mandi, dan sedikit ruangan kecil untuk berkumpul bersama.

Adat disana yang membiasakan memberikan makan bagi tamu yang sedang berkunjung, bukan minuman segar dan bersoda ataupun kue-kue dan makanan ringan lainnya, tetapi nasi dan lauk pauknya seadanya yang mereka punya harus disisakan untuk tamu jika ada yang sedang berkunjung. Mata pencaharian yang sebagian besar adalah bertani tidak terkecuali kaum wanitanya. Oleh karena itu harus mempunyi istri yang bisa menanam padi. Ada hari – hari tertentu yang tidak diperbolehkan untuk menjalani aktivitas di sawah yaitu hari Jumat dan hari Minggu, dan ketika masuk waktu solat lima waktu harus menghentikan segala kegiatan yang sedang dilakukan.

Wilayah yang sulit untuk diakses, jalan yang sangat tidak layak untuk dilewati, terbatasnya bahan makanan kebutuhan sehari-hari, dan daerah yang sangat jauh dari jangkauan teknologi komunikasi, serta kehidupan yang modern, listrik dan televisi sudah ada. Tapi mereka tidak mengeluh sedikitpun, ikhlas dalam menjalani hidup dan bersyukur atas kehidupan. Ketergantungan mereka yang tidak bisa lepas dari sumberdaya alam disekitarnya, hutan, sawah, sungai selalu mereka jaga dan pelihara.

Menurut aturan adat, masa tanam panen di wewengkon adat Kasepuhan Citorek adalah 1 (satu) kali dalam setahun (tanam panen selama 6 bulan). Jenis padi yang ditanam beragam. Jenis padi yang ditanam adalah varietas lokal yang dikumpulkan sejak dulu dan dibudidayakan secara turun-temurun
Hutan di sekitar Citorek secara adat dibedakan sesuai dengan fungsinya. Di Citorek dikenal 3 (tiga) jenis hutan, yakni:

1.      Leuweung Tutupan
 Leuweung Tutupan atau Leuweung Geledegan arti harfiahnya adalah hutan tua, yaitu hutan yang masih lebat dengan berbagai jenis tumbuhan asli besar dan kecil, lengkap dengan semua satwa penghuninya. Hutan jenis ini sama sekali tidak boleh dijamah oleh manusia, dalam istilah secara umum oleh pihak perhutani terutama disebut hutan primer. Hutan jenis ini menurut Adat Kasepuhan Citorek tidak boleh dirusak karena dianggap sebagai pelindung kehidupan atau seumber kehidupan, intinya merupakan sumber mata air (hulu cai’). Contoh jenis hutan ini adalah kawasan hutan di dalam TNGH (Taman Nasional Gunung Halimun). Yang mengelilingi wilayah Citorek.

2.      Leuweung Titipan
       Leuweung Titipan merupakan Leuweung Kolot juga yang dikeramatkan. Hutan jenis ini sama sekali tidak bolehdieksploitasi atau diganggu. Bahkan hanya untuk melewatinya atau memasukinya saja cukup sulit. Setiap warga yang hendak lewat atau masuk ke dalam hutan jenis ini harus meminta ijin khusus dari Sesepuh (ketua adat).
 Penggunaan hutan tersebut dimungkinkan apabila telah datang ilapat/wangsit dari nenek moyang kepada ketua adat. Adanya jenis Leweung ini lebih memudahkan pemerintah dalam melasakanakan  perlindungan hutan dan kawasannya yang sejalan dengan prinsip-prinsip Masyarakat Adat Citorek dalam melestarikan dan melindungi hutan dari segala bentuk pengrusakan dan bahkan penjarahan.
Leuweung Titipan di Citorek terletak di bagian timur, yakni di Gunung Ciawitali yang merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), dan di bagian barat Citorek, tepatnya di kawasan Gunung Nyungcung (Cibedug) dan Gunung Bapang. Leuweung titipan yang paling dominan adalah dikenal dengan hutan Sangga Buna dan hutan Lebak Cawene.

3.      Leuweung Bukaan/Garapan
      Leuweung Sampalan atau Leuweung Bukaan merupakan hutan yang dapat dimanfaatkan warga untuk pembukaan ladang, pengembalaan ternak (kerbau), membuat petak sawah, mengambil kayu dan hasil hutan lainnya. Jenis hutan ini terletak di sekitar tempat pemukiman dan mengelilingi perkampungan Citorek. Jika pembukaan hutan tersebut telah melibatkan penanaman kayu albasia dan sejenisnya atau kayu keras lainnya dan terjadi pertumbuhan sekunder, maka hutan jenis ini disebut juga sebagai reuma ngora (blukar baru), dan reuma kolot (blukar tua) bagi yang prosesnya lebih lanjut.
            Jenis hutan ini kondisi pada saat ini telah mengalami berbagai penggarapan seiring makin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan lahan-lahan tersebut untuk menanam berbagai jenis pohon produksi dan buah-buahan. Kebiasaan berladang secara berpindah-pindah telah ditinggalkan oleh masyarakat Adat Kasepuhan Citorek. Mereka dalam melaksanakan bercocok tanam kini telah menetap dan berusaha untuk mengindari kerusakan hutan dan ekosistemnya dari akibat pembukaan dan penggarapan lahan dari leweung bukaan tersebut.

       Pembagian peruntukkan hutan secara adat tersebut menunjukkan bahwa dalan kearifan adat, disadari sepenuhnya fungsi hutan untuk konservasi. Dalam hal ini hutan sebagai hulu/sirah cai’, yang mempunyai pengertian secara harfiah adalah kepala air, yang dimaksudkan sebagai pelindung mata air. Secara tradisi/adat masyarakat Adat Kasepuhan Citorek menyadari bahwa hutan sangat berperan dalam mempertahankan kelangsungan mata air dan tersedianya air. Hal ini tidak berbeda dengan konsep ilmu pengetahuan modern.








0 comments:

Post a Comment