Pemprov Kaltim nampaknya tidak bisa berbuat banyak untuk menangani
tujuh Daerah Sungai (DAS) di Kaltim yang kini dalam kondisi kritis, atau
masuk dalam prioritas pertama. Pasalnya, kewenangan pengelolaan sungai
di Kaltim berada pada Balai Wilayah Sungai (BWS) Kalimantan III.
Demikian diungkapkan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kaltim, M
Taufik Fauzi. “Bicara sungai merupakan kewenangan penuh dari BWS
Kalimantan 3. Di dalamnya termasuk DAS Kandilo, DAS Manggar, maupun DAS
Mahakam,” kata Taufik.
Sementara, kata Taufik, BWS Kalimantan III masih menitikberatkan
program pada pembangunan bendungan, seperti pembangunan Bendungan
Teritip di Balikpapan. “Dalam kaitannya kerusakan sungai dengan banjir,
teman‑teman di BWS programnya masih ke arah bendungan seperti Bendungan
Teritip Balikpapan yang akan di Ground Breaking tahun ini.
Kemudian di Samarinda menangani bendungan Lempake,” papar Taufik.
Selama ini, keterlibatan PU Kaltim, lanjut Fauzi, hanya sebatas
kordinasi penanganan yang di lakukan di Kementrian PU, sebelum
pelaksanaan Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas).
“Kita sebatas kordinasi saja. Jadi sebelum musrenbangnas, kita ada
konsultasi regional bersama Dirjen Bina Marga, Cipta Karya, RTRW, dan
Sumber Daya Air. Kordinasi saja, karena kita tidak mungkin bisa masuk
(menangani langsung),. Sama saja seperti penanganan jalan nasional,”
jelasnya.
Terpisah, Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak mengakui Sungai Mahakam
mengalami kerusakan kritis. “Penanganannya memerlukan kerjasama lintas
pemerintah, karena Mahakam berada di empat daerah administrasi yakni
Kabupaten Mahulu, Kubar, Kukar, dan Samarinda,” kata Awang.
Menurut Gubernur Awang Faroek kerusakan DAS Mahakam juga diikuti
kerusakan sub DAS Mahakam yakni Sungai Karang Mumus yang membelah Kota
Samarinda. Akibatnya banjir terus terjadi lantaran kerusakan sungai.
“Empat Pemerintah Daerah di wilayah DAS Mahakam diminta ikut menjaga.
Tapi terus terang, kebijakan penanganan Sungai Mahakam merupakan
kewenangan Pemerintah Pusat,” paparnya. Awang mengungkapkan, sejak tahun
2009 Pemprov sudah menaruh perhatian serius terkait kondisi Sungai
Mahakam . “Tapi yang sebenarnya bertanggung jawab itu pemerintah pusat,
program penghijauan sudah kami lakukan tapi apalah artinya kalau
penggundulan masih saja terjadi. Pernah ada pengerukan sungai tapi di
hulu sungai hutannya gundul, pembalakan hutan dan tambang batubara
beraktifitas,” sesalnya.
Sejatinya, Pemprov berupaya mengatasi laju kerusakan di Sungai
Mahakam dengan memberlakukan moratorium tambang. “Saya sebagai gubernur
sudah mengingatkan bahkan mengeluarkan kebijakan moratorium tambang dan
kebun sembari menertibkan usaha yang sudah ada di kiri dan kanan
sungai,” sebutnya.
Tujuh dari 31 Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kaltim masuk dalam
prioritas I, untuk segera mendapatkan penanganan. Hal ini diungkapkan
Dosen Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman (Unmul), Prof Sigit
Hardwinarto.
Tujuh DAS tersebut yakni DAS Mahakam, DAS Kandilo (Kabupaten Paser),
DAS Manggar (Balikpapan), DAS Bontang, DAS Sangatta, DAS Tarakan, dan
DAS Nunukan. “Mahakam masuk prioritas I bersama enam DAS lainnya di
Kaltim. Kapuas juga masuk prioritas I,” kata Sigit, usai diskusi yang
digagas Forum Komunikasi Komunitas Kehutanan Kalimantan Timur (FK4T).
Kriteria yang digunakan untuk menetukan prioritas tersebut antara
lain tutupan lahan, indeks pembangunan di tiap DAS, hingga kawasan
lindung di area DAS tersebut. “DAS ini sangat erat kaitannya dengan
kerusakan lingkungan maupun hutan. Karena erosi dan banjir ini berasal
dari DAS,” papar Sigit.
Laju pembangunan yang tidak dapat diimbangi dengan program
rehabilitasi menjadi salah satu faktor penyebab degradasi lingkungan.
“Luasan lahan terbuka terus meningkat, sementara kecepatan rehabilitasi
lebih kecil. Keduanya berjalan beriringan, tapi rehabilitasi lahan ini
selalu tertinggal,” paparnya.
Diakui Sigit, lahan hutan di Kaltim terus terdesak oleh kepentingan
pembangunan. Untuk itu, katanya, diperlukan penataan wilayah yang tepat
agar proses pembangunan berjalan berimbang dengan daya dukung
lingkungan. “Prinsip dalam tata ruang ialah proporsionalitas. Contoh di
DAS Mahakam, hutan posisinya di mana? Berapa luasnya? Bukan anti tambang
atau perkebunan, tapi proporsinya harus tepat. Misalkan di Hulu Mahakam
dengan Formasi Balikpapan yang berarti banyak batubara dengan kalori
yang menggiurkan, ya tidak boleh ditambang. Tambang dan perkebunan
mungkin bisa di daerah tengah DAS atau di hilir,” urai Sigit yang juga
menjabat sebagai Ketua Tim Terpadu (Timdu) penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah Perubahan (RTRW‑P) Kaltim.
Sigit mengungkapkan, luas hutan di Kaltim saat ini mencapai 14,5 juta
hektare. Sementara, total luas daratan Kaltim berkisar 21 juta hektare.
Semula, Pemprov Kaltim mengusulkan sekitar 2,5 juta hectare Kawasan
Budidaya Kehutanan (KBK) dikonversi menjadi Kawasan Budidaya Non
Kehutanan (KBNK) atau Area Penggunaan Lain (APL). Namun, dari usulan
tersebut, timdu RTRW‑P hanya menyetujui sekitar 400 ribu hektare KBK
yang bisa dialihfungsikan.
“Kami tidak bisa melepaskan 2,5 juta KBK menjadi KBNK atau APL.
Karena timdu sendiri punya prinsip dan kriteria untuk mengubah kawasan
hutan.
Jadi hasil kajian timdu, hanya 400 ribu hektare saja yang bisa dialihfungsikan,” jelasnya.
Sementara, diskusi FK4T menghasilkan Deklarasi Ulin Arya yang salah
satu butir deklarasinya bakal menyusun platform pembangunan kehutanan
Kaltim. Platform ini diharapkan menjadi acuan implementasi kebijakan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya hutan di
Kaltim. “Kami akan melakukan kajian, pemantauan, dan bila perlu
pengawasan yang terkait dengan pembangunan kehutanan Kaltim,” tandas
Agung Nugraha dari FK4T. (sumber: Mongabay Indonesia)
0 comments:
Post a Comment