Indonesia
memang negeri yang luar biasa, beragam suku dan budaya dari Sabang sampai
Merauke. Coba sedikit cermati kalimat tersebut, kemudian coba kalian lakukan
lihat dan pahami. Tidak perlu berekspetasi yang terlalu tinggi, cukup amati
lingkungan sekitar kita yang sedikit lebih jauh. Begitu banyak saudara kita
yang berbeda suku, budaya, dan adat.
Kampung Ciusul, desa Citorek
Kidul kecamatan Cibeber kabupaten Lebak provinsi Banten Jawa Barat, merupakan
suatu pengalaman yang sulit untuk
tergantikan dengan apapun. Wilayah yang berada dibawah Taman Nasional Gunung
Halimun Salak (TNGHS) memberikan kesan tersendiri pada kegiatan ESM kali ini.
Tidak banyak penduduk yang tinggal di kampung tersebut, mungkin hanya sekitar
seratus hingga duaratus kepala keluarga yang tinggal, diam, dan hidup disana.
‘Sederhana’ adalah kata yang
tepat untuk mengggambarkan kehidupan penduduknya. Rumahnya sebagian besar masih
panggung berdinding dan beralaskan papan kayu, makanan yang seadanya didapat
dari hasil kebun sayur dan sawah serta ternak unggas yang dipelihara sendiri,
tidak banyak perabot rumah tangga, bagi mereka cukuplah sekedar alas untuk
tidur, memasak, mandi, dan sedikit ruangan kecil untuk berkumpul bersama.
Adat disana yang membiasakan
memberikan makan bagi tamu yang sedang berkunjung, bukan minuman segar dan
bersoda ataupun kue-kue dan makanan ringan lainnya, tetapi nasi dan lauk
pauknya seadanya yang mereka punya harus disisakan untuk tamu jika ada yang
sedang berkunjung. Mata pencaharian yang sebagian besar adalah bertani tidak
terkecuali kaum wanitanya. Oleh karena itu harus mempunyi istri yang bisa
menanam padi. Ada hari – hari tertentu yang tidak diperbolehkan untuk menjalani
aktivitas di sawah yaitu hari Jumat dan hari Minggu, dan ketika masuk waktu
solat lima waktu harus menghentikan segala kegiatan yang sedang dilakukan.
Wilayah yang sulit untuk
diakses, jalan yang sangat tidak layak untuk dilewati, terbatasnya bahan
makanan kebutuhan sehari-hari, dan daerah yang sangat jauh dari jangkauan
teknologi komunikasi, serta kehidupan yang modern, listrik dan televisi sudah
ada. Tapi mereka tidak mengeluh sedikitpun, ikhlas dalam menjalani hidup dan
bersyukur atas kehidupan. Ketergantungan mereka yang tidak bisa lepas dari
sumberdaya alam disekitarnya, hutan, sawah, sungai selalu mereka jaga dan
pelihara.
Menurut aturan adat,
masa tanam panen di wewengkon adat Kasepuhan Citorek adalah 1 (satu) kali dalam
setahun (tanam panen selama 6 bulan). Jenis padi yang ditanam beragam. Jenis padi yang ditanam adalah varietas lokal yang
dikumpulkan sejak dulu dan dibudidayakan secara turun-temurun
Hutan di sekitar Citorek secara adat dibedakan sesuai
dengan fungsinya. Di Citorek dikenal 3 (tiga) jenis hutan, yakni:
1. Leuweung
Tutupan
Leuweung Tutupan atau Leuweung Geledegan arti
harfiahnya adalah hutan tua, yaitu hutan yang masih lebat dengan berbagai jenis
tumbuhan asli besar dan kecil, lengkap dengan semua satwa penghuninya. Hutan
jenis ini sama sekali tidak boleh dijamah oleh manusia, dalam istilah secara
umum oleh pihak perhutani terutama disebut hutan primer. Hutan jenis ini
menurut Adat Kasepuhan Citorek tidak boleh dirusak karena dianggap sebagai
pelindung kehidupan atau seumber kehidupan, intinya merupakan sumber mata air (hulu
cai’). Contoh jenis hutan ini adalah kawasan hutan di dalam TNGH
(Taman Nasional Gunung Halimun). Yang mengelilingi wilayah Citorek.
2. Leuweung
Titipan
Leuweung
Titipan merupakan Leuweung Kolot juga
yang dikeramatkan. Hutan jenis ini sama sekali tidak bolehdieksploitasi atau
diganggu. Bahkan hanya untuk melewatinya atau memasukinya saja cukup sulit.
Setiap warga yang hendak lewat atau masuk ke dalam hutan jenis ini harus
meminta ijin khusus dari Sesepuh (ketua adat).
Penggunaan hutan tersebut dimungkinkan apabila
telah datang ilapat/wangsit dari nenek moyang kepada ketua
adat. Adanya jenis Leweung ini lebih memudahkan pemerintah dalam
melasakanakan perlindungan hutan dan kawasannya yang sejalan dengan
prinsip-prinsip Masyarakat Adat Citorek dalam melestarikan dan melindungi hutan
dari segala bentuk pengrusakan dan bahkan penjarahan.
Leuweung Titipan di
Citorek terletak di bagian timur, yakni di Gunung Ciawitali yang merupakan
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), dan di bagian barat Citorek,
tepatnya di kawasan Gunung Nyungcung (Cibedug) dan Gunung Bapang. Leuweung
titipan yang paling dominan adalah dikenal dengan hutan Sangga Buna dan hutan
Lebak Cawene.
3. Leuweung
Bukaan/Garapan
Leuweung
Sampalan atau Leuweung Bukaan merupakan hutan yang dapat dimanfaatkan warga
untuk pembukaan ladang, pengembalaan ternak (kerbau), membuat petak sawah,
mengambil kayu dan hasil hutan lainnya. Jenis hutan ini terletak di sekitar
tempat pemukiman dan mengelilingi perkampungan Citorek. Jika pembukaan hutan
tersebut telah melibatkan penanaman kayu albasia dan sejenisnya atau kayu keras
lainnya dan terjadi pertumbuhan sekunder, maka hutan jenis ini disebut juga
sebagai reuma ngora (blukar baru), dan reuma kolot (blukar
tua) bagi yang prosesnya lebih lanjut.
Jenis
hutan ini kondisi pada saat ini telah mengalami berbagai penggarapan seiring
makin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan lahan-lahan tersebut
untuk menanam berbagai jenis pohon produksi dan buah-buahan. Kebiasaan
berladang secara berpindah-pindah telah ditinggalkan oleh masyarakat Adat
Kasepuhan Citorek. Mereka dalam melaksanakan bercocok tanam kini telah menetap
dan berusaha untuk mengindari kerusakan hutan dan ekosistemnya dari akibat
pembukaan dan penggarapan lahan dari leweung bukaan tersebut.
Pembagian
peruntukkan hutan secara adat tersebut menunjukkan bahwa dalan kearifan adat,
disadari sepenuhnya fungsi hutan untuk konservasi. Dalam hal ini
hutan sebagai hulu/sirah cai’, yang mempunyai pengertian secara
harfiah adalah kepala air, yang dimaksudkan sebagai pelindung mata air. Secara
tradisi/adat masyarakat Adat Kasepuhan Citorek menyadari bahwa hutan sangat
berperan dalam mempertahankan kelangsungan mata air dan tersedianya air. Hal
ini tidak berbeda dengan konsep ilmu pengetahuan modern.
0 comments:
Post a Comment