“Sejak negara ini ada, hutan makin hancur. Hutan kami hancur.
Padahal, kearifan menjaga hutan ada sejak nenek moyang. Pengelolaan
hutan itu harus berbeda-beda tiap-tiap wilayah adat, karena kami
memiliki kearifan berbeda-beda. Harus ada aturan yang mengawal aturan
putusan MK 35…”
Kalimat itu meluncur keras dari Den Upa Rombelayuk, ibu paruh baya
perwakilan masyarakat adat Tana Toraja, Sulawesi Selatan. MK 35 yang
dimaksud adalah putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35 tahun 2013 yang
menyatakan hutan adat bukan hutan negara.
Dia mengungkapkan kekecewaan terhadap pengelolaan hutan oleh negara
ini pada diskusi isu terkini kehutanan terkait masyarakat adat dan
masyarakat lokal, diinisiasi Kamar Masyarakat Dewan Kehutanan Nasional
Regio Sulawesi, di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (19/5/14).
Den Upa mengatakan, sebelum ada keputusan MK 35, banyak masyarakat
adat ditangkap ketika masuk wilayah kelola mereka. Misal, memotong kayu
dan mengambil hasil hutan, masyarakat adat bisa masuk penjara. Banyak
harus berurusan dengan polisi. “Sekarang putusan MK 35 itu belum
dilaksanakan pemerintah. Tidak ada implementasi di lapangan,” katanya
kepada Mongabay.
Serupa diungkapkan Rusdin ZM, dari masyarakat Dampelas Tinombo,
Donggala, Sulteng. Konflik antara masyarakat adat dengan negara terus
terjadi. Masalahnya, penetapan batas hutan. Di Desa Talaga, masyarakat
rumpun Dampelas seperti dipecah belah. Mereka bingung dengan kawasan
lindung yang disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Dampelas Tinombo.
Yang membuat warga geram, ladang tempat mencari tiba-tiba dipasangi
patok-patok pal batas. Bahkan di belakang rumah ketua adat, diam-diam
dipasangi batas. Mereka kaget, wilayah yang dikelola sejak lama menjadi
kawasan lindung. Masyarakat mengira kepala desa sudah sekongkol.
“Akibat pemasangan pal-pal di Desa Talaga, kepala desa diserang
masyarakat. Karena sebelumnya, petugas datang ke kepala desa ngobrol
biasa, esoknya mereka jalan-jalan ke sebarang danau. Ketika masyarakat
pergi ke kebun, sudah terpasang pal batas. Dampak pal batas ini
konflik,” kata Erwin Laudjeng, masyarakat lokal lain dari Sulteng.
Jamlis Lahandu, ahli kehutanan Sulteng dan akademisi Universitas
Tadulako Palu, mengatakan, bicara lingkungan adalah bicara ruang hidup.
Disana ada sumber kehidupan. Semestinya, regulasi untuk mensejahterakan
masyarakat dan mempertahankan kawasan tetap lestari. “Ada negosiasi,
namun ini tidak terjadi. Definisi ini perlu dikaji, hingga semua
komponen bisa masuk.”
“Jangan sampai taman nasional punya persepsi berbeda bahwa semua ini
kita yang punya, sementara masyarakat tidak punya. Kalau itu terjadi
baku perang saja di lapangan. Itu tidak diharapkan. Hutan itu sumber
penghidupan dan memberikan kontribusi bangsa ini. Kalau hutan konflik
tidak pernah berakhir, bubar saja negeri ini.”
Jamlis pernah divonis penjara karena menolak pertambangan bijih emas
di Kecamatan Balaesang Tanjung, Donggala. Meski dosen, dia menjadi Ketua
Forum Masyarakat Anti Tambang Balaesang Tanjung, memimpin warga menolak
perusahaan bernama PT Cahaya Manunggal Abadi. Aksi itu pada 17 Juli
2012, warga menggelar aksi besar hingga kerusuhan. Jamlis dianggap
provokator dan mendekam penjara enam bulan.
Jamlis mengatakan, penetapan kawasan hutan seharusnya melalui
prosedur. Fakta selama ini belum ada penetapan sudah diterobos.
Sementara dalam setiap konflik selalu diandalkan aparat. Aparat
mengandalkan senjata.
Masyarakat adat, katanya, harus segera mentetapkan wilayah adat,
unsur-unsur seperti apa, dan harus ada dokumen. Jadi menuntut kepada
pemerintah ada bukti. Kalau di gunung adalah kebun, harus ada
pengelolaan berdasarkan sistem keadatan di wilayah masing-masing. Semua
harus dipersiapkan agar berjalan baik.
“Begitupun perlakuan sanksi adat atau givu, siapapun yang melanggar harus digivu. Termasuk taman nasional.”
Persoalannya, kalau masyarakat mengambil coklat yang ditanam sendiri
malah ditangkap, masyarakat adat harus bisa membalas givu kepada
pemerintah. “Ini keputusan adat, Anda melanggar harus menerima givu.
Artinya sama kekuatan pengadilan negeri dan pengadilan adat. Sekarang
banyak orang melanggar tidak digivu, tapi kita mengambil cokelat
digivu.”
Nurudin, kepala seksi Konservasi Alam Dinas Kehutanan Sulteng,
mengatakan, memperoleh legitimasi kawasan hutan ada prosedur. Hal ini
kadangkala sering bermasalah. Di lapangan, Dinas Kehutanan hanya
operasional mengacu pada petunjuk Kementerian.
Kegiatan pengukuhan kawasan hutan, katanya, tidak oleh Dinas
Kehutanan. Ada unit pelaksana teknis pemerintah pusat di daerah, seperti
Balai Pemantapan Kawasan Hutan. Merekalah yang mengukuhkan. “Artinya,
ketika hutan ditunjuk dan diberi tanda tata batas, Dinas Kehutanan hanya
masuk pada pengelolaan,” kata Nurudin.
Pada 2013, perkembangan tata batas hutan di Sulteng mencapai 10.984
kilometer atau 92 persen. Itu batas luar, berbatasan langsung dengan
areal peruntukan lain, batas fungsi, progres sudah 3.960 kilometer atau
76 persen.
Nurudin melanjutkan, terkait fungsi hutan, contoh taman nasional,
untuk penyelesaian masalah harus dialogis. Klaim masyarakat harus
dibicarakan baik-baik. “Kalau hutan dibagi-bagi, itu akan memperingan
tugas kehutanan. Karena sudah menjadi taman nasional, fungsi tetap hak
kelola masyarakat adat. Nanti dimasukkan ke RUU Masyarakat Adat.” (Sumber: Mongabay Indonesia)
0 comments:
Post a Comment