Luas kawasan hutan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara berdasar
SK menhut No 79/Kpts-II/2001 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan
Perairan adah seluas 14.651.553 ha. Kawasan ini terdiri atas kawasan
konservasi 2.165.198 ha, kawasan hutan lindung 2.751.792 ha, kawasan
hutan produksi tetap 4.612.965 ha dan hutan produksi 5.121.688 ha.
Jumlah tersebut tentunya akan berkurang sebagai konsekuensi terbitnya
SK Menhut 664/Menhut-II/2013 tentang perubahan RTRW Propinsi Kalimantan
Timur yang menyetujui perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan
hutan seluas 4.95.621 ha. Jumlah kawasan hutan tersebut akan mengalami
deforestasi dan degradasi karena di dalam kawasan gutan terdapat
aktivitas penambangan batubara melalui praktek pinjam pakai kawasan
hutan.
Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Kehutanan Februari
2014 lalu, di propinsi Kalimantan Timur terdapat 41 pemegang Izin
Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Untuk kegiatan surfey/ekplorasi dan
71 perusahaan pemegang IPPKH untuk kegiatan operasi produksi dan non
tambang
Luas kawasan hutan yang digunakan untuk kegiatan ekplorasi adalah
sebesar 402.655,98 ha, sementara untuk kegiatan operasi produksi kawasan
hutan yang digunakan mencapai 191.343,04 ha. Deforetasi dan degradasi
hutan merupakan dampak dari ketidakmampuan perusahaan pertambangan
batubara dalam mengembalikan kawasan hutan seperti semula yang berakibat
pada timbulnya gangguan terhadao kualitas lingkungan hidup,
terganggunya system tata air dan akses masyarakat terhadap hutan
sehingga menunjukan ketidak adilan dan akses masyarakat terhadap hutan
sehingga menunjukan ketidakadilan dan ketidak efisienan pemanfaatan
sumber daya alam.
Pengaturan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang dikeluarkan
oleh Menteri Kehutanan dianggap sebagai sebuah peraturan yang menuai
bencana, hal itu disebebkan karena IPPKH tidak didasari kerangka hukum
yang jelas. Penyebabnya karena ada kekaburan makna dan tujuan pada IPPKH
itu sendiri, sehingga pada rentang waktu 1999 hingga 2013 telah terjadi
perubahan-perubahan di Kemenhut yang didasari adanya kepentingan yang
selalu berubah baik dari sisi proses, substansi, tujuan maupun
implikasinya.
“Saya mengkritisi aturan untuk izin pinjam pakai itu, izin pinjam
pakai seperti yang saya sebutkan tadi kalau anda meminjam mobil kembali
mobil sekarang pinjam hutan kembali hutan kalau dia kembalinya kurang
apa artinya,” kata Muhammad Muhdar dari Fakultas Hukum Universitas
Balikpapan.
Penelitian Muhammad Muhdar dan Mohamad Nasir, Dosen Hukum Universitas
Balikpapan, mengungkapkan perubahan-perubahan yang terjadi pada pinjam
pakai kawasan hutan itu berimbas banyak kepada hilangnya akses terhadap
hutan terutama untuk masyarakat adat. Sehingga memunculkan kemungkinan
timbulnya sengketa antara masyarakat dengan pemegang IPPKH termasuk
yang paling utama rusaknya hutan sebagai konsekuensi dari aktivitas
pertambangan batubara.
Bagi masyarakat (adat), hal itu berimbas pada hilangnya akses
terhadap hutan, termasuk kemungkinan timbulnya sengketa antara
masyarakat dengan pemegang IPPKH. Selain itu, rusaknya hutan sebagai
konsekuensi dari aktivitas pertambangan batubara, juga akan
menyisakanderita berkepanjangan bagi masyarakat yang bermukim di sekitar
kawasan hutan.
Sementara bagi pemerintah perubahan-perubahan pengaturan menunjukan
adanya kelemahan dalam perencanaan penggunaan kawasan hutan yang
tersedia saat ini. “Selama rekomendasi gubenur atau bupati/walikota
menjadi syarat bagi penerbitan IPPKH, tetapi standar norma bagi penentu
syarat penggunaan hutan bagi kegiatan pertambangan batubara ditentukan
oleh pemerintah (Kementerian Kehutanan), tanpa memberikan kewenangan
penentuan norma-standar berdasarkan kepentingan dan kondisi ekologis
kawasan hutan. Posisi semacam ini berpotensi mengancam eksistensi hutan
yang sangat strategis bagi masyarakat Kalimantan Timur,” ungkap
Muhammad Muhdar.
Hasil penelitian yang dilakukan ini memang untuk mengkritisi aturan
pinjam pakai hutan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Karena lazimnya
mekanisme peminjaman, seharusnya apapun sesuatu yang dipinjam tentu saja
pengembaliannya dengan bentuk yang sama, bukan malah seperti sekarang
ketika hutan dipinjam untuk kegiatan batu bara tak jarang yang
dikembalikan justru kubangan bekas aktivitas pertambangan.
Dari sisi hukum aturan ini sudah jadi persolan tersendiri, karena
sebenarnya banyak cara agar fungsi hutan tidak terganggu meski ada
kegiatan penambangan disebuah wilayah misalnya dengan menerapkan sistem
pertambangan bawah tanah sebagaimana yang diterapkan dibanyak negara.
Karena ternyata setelah dilakukan perhitungan tidak banyak perbedaan
biaya antara sistem penambangan bawah tanah dengan biaya reklamasi yang
dikeluarkan pasca penambangan berlangsung, yang sayangnya hingga saat
ini tidak ada dasar hukum yang mengatur tentang sistem pertambangan
bawah tanah di Indonesia.
Muhdar justru khawatir ketika Sumber Daya Alam (SDA) di Kaltim telah
habis dikeruk, wilayah ini tidak punya anggaran lagi untuk mengembalikan
kehidupan masyarakat ke posisi semula, karena APBD yang ada tak lagi
ditunjang dari sektor pertambangan.
Secara faktual, pemegang IPPKH menunjukan ketidakmampuan dalam
memenuhi kewajibannya mengembalikan kawasan hutan yang dipinjam pada
tingkat kualitas dan kondisi ekologis yang sama dengan rona awal yang
sama dengan rona awal sebelum kawasan hutan tersebut ditambang.
Kewajiban-kewajiban pemegang IPPKH menjadi kabur baik karena aspek
teknis dan kondisi faktual saat ini, diantaranya, kewajiban pemegang
untuk melakukan rehabilitasi dan reboisasi disekitar Daerah Aliran
Sungai (DAS) menjadi sukar, misalnya di DAS Mahakam terdapat 116
perusahaan pertambangan batubara (Samarinda memiliki 21 IUP, Kutai Barat
15 IUP, Kutai Kertanegara 66 IUP dan 11 PKP2B).
Dokumen Izin lingkungan seperti Amdal, UKL/UPL tidak mampu
memprediksi resiko lingkungan atas pemanfaatan hutan untuk kegitan
batubara sehingga berpengaruh terhdapa mitigasi bencana lingkungan yang
sudah kerap kali dihadapi oleh pemerintah daerah yang memiliki area
pertambangan batubara.
Oleh karena itu salah satu rekomendasi yang dikeluarkan dari
penelitian ini, adalah meminta peran Gubernur, Bupati atau Walikota
dalam penggunaan kawsan hutan harus menempatkan persetujuan masyrakat
yang direpresentasikan DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota sebagai
syarat tambahan sebelum mengeluarkan rekomendasi IPPKH. (sumber: Mongabay Indonesia)
0 comments:
Post a Comment